Minggu, 15 April 2012

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN CEDERA KEPALA


•  Pengertian
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)
•  Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):
1. Minor
•  SKG 13 – 15
•  Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
•  Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
2. Sedang
•  SKG 9 – 12
•  Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
•  Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat
•  SKG 3 – 8
•  Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
•  Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
 
Etiologi
•  Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
•  Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.
•  Cedera akibat kekerasan.
Patofisiologis
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.
Manifestasi Klinis
•  Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
•  Kebingungan
•  Iritabel
•  Pucat
•  Mual dan muntah
•  Pusing kepala
•  Terdapat hematoma
•  Kecemasan
•  Sukar untuk dibangunkan
•  Bila fraktur, mungkin adanya cairan serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
 

Komplikasi
•  Hemorrhagie
•  Infeksi
•  Edema
•  Herniasi
 
Pemeriksaan Penunjang
•  Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
•  Rotgen Foto
•  CT Scan
•  MRI
Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Anak diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
 
Rencana Pemulangan
1. Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
2. Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.
3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari pemberian obat.
4. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah, mempertahankan jalan nafas selama kejang.
5. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan ROM bila anak mengalami gangguan mobilitas fisik.
6. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
7. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
8. Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.
 
ASUHAN KEPERAWATAN
  A. Pengkajian
Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
•  Pemeriksaan fisik
- Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik).
- Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
- Sistem saraf :
- Kesadaran à GCS.
- Fungsi saraf kranial à trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
- Fungsi sensori-motor à adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
- Sistem pencernaan
- Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar à tanyakan pola makan?
- Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
- Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
- Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik à hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
- Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan à disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
- Psikososial à data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.
B. Diagnosa
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
1. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
8. Kecemasan orang tua-anak berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.  
C. Intervensi Keperawatan
Resiko tidak efektifnya jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan : Pola nafas dan bersihan jalan nafas efektif yang ditandai dengan tidak ada sesak atau kesukaran bernafas, jalan nafas bersih, dan pernafasan dalam batas normal.
Intervensi :
- Kaji Airway, Breathing, Circulasi.
- Kaji anak, apakah ada fraktur cervical dan vertebra. Bila ada hindari memposisikan kepala ekstensi dan hati-hati dalam mengatur posisi bila ada cedera vertebra.
- Pastikan jalan nafas tetap terbuka dan kaji adanya sekret. Bila ada sekret segera lakukan pengisapan lendir.
- Kaji status pernafasan kedalamannya, usaha dalam bernafas.
- Bila tidak ada fraktur servikal berikan posisi kepala sedikit ekstensi dan tinggikan 15 – 30 derajat.
- Pemberian oksigen sesuai program.




Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
Tujuan : Perfusi jaringan serebral adekuat yang ditandai dengan tidak ada pusing hebat, kesadaran tidak menurun, dan tidak terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Intervensi :
- Tinggikan posisi kepala 15 – 30 derajat dengan posisi “midline” untuk menurunkan tekanan vena jugularis.
- Hindari hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial: fleksi atau hiperekstensi pada leher, rotasi kepala, valsava meneuver, rangsangan nyeri, prosedur (peningkatan lendir atau suction, perkusi). Tekanan pada vena leher. pembalikan posisi dari samping ke samping (dapat menyebabkan kompresi pada vena leher).
- Bila akan memiringkan anak, harus menghindari adanya tekukan pada anggota badan, fleksi (harus bersamaan).
- Berikan pelembek tinja untuk mencegah adanya valsava maneuver.
- Hindari tangisan pada anak, ciptakan lingkungan yang tenang, gunakan sentuhan therapeutic, hindari percakapan yang emosional.
- Pemberian obat-obatan untuk mengurangi edema atau tekanan intrakranial sesuai program.
- Pemberian terapi cairan intravena dan antisipasi kelebihan cairan karena dapat meningkatkan edema serebral.
- Monitor intake dan out put.
- Lakukan kateterisasi bila ada indikasi.
- Lakukan pemasangan NGT bila indikasi untuk mencegah aspirasi dan pemenuhan nutrisi.
- Libatkan orang tua dalam perawatan anak dan jelaskan hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
 
Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
Tujuan : Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu.
Intervensi :
- Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum, mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan perseorangan.
- Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi.
- Perawatan kateter bila terpasang.
- Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan BAB.
- Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.
 
Resiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.
Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.
  Intervensi :
- Kaji intake dan out put.
- Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine.
- Berikan cairan intra vena sesuai program.
 
Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
Tujuan : Anak terbebas dari injuri.


Intervensi :
- Kaji status neurologis anak: perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan kejang.
- Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
- Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai dengan protokol.
- Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.
- Berikan analgetik sesuai program.
 
Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
Tujuan : Anak akan merasa nyaman yang ditandai dengan anak tidak mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.
Intervensi  :
- Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin.
- Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri.
- Kurangi rangsangan.
- Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.
- Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur.
- Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi.

Resiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.
Tujuan : Anak akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal, tidak ada pus dari luka, leukosit dalam batas normal.
Intervensi :
- Kaji adanya drainage pada area luka.
- Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.
- Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.
- Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit kepala, demam, muntah dan kenjang.
 
Kecemasan orang tua berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
Tujuan : Anak dan orang tua akan menunjukkan rasa cemas berkurang yang ditandai dengan tidak gelisah dan orang tua dapat mengekspresikan perasaan tentang kondisi dan aktif dalam perawatan anak.
Intervensi :
- Jelaskan pada anak dan orang tua tentang prosedur yang akan dilakukan, dan tujuannya.
- Anjurkan orang tua untuk selalu berada di samping anak.
- Ajarkan anak dan orang tua untuk mengekspresikan perasaan.
- Gunakan komunikasi terapeutik.
 
Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.
Tujuan : Tidak ditemukan tanda-tanda gangguan integritas kulit yang ditandai dengan kulit tetap utuh.
Intervensi :
- Lakukan latihan pergerakan (ROM).
- Pertahankan posisi postur tubuh yang sesuai.
- Rubah posisi setiap 2 jam sekali atau sesuai dengan kebutuhan dan kondisi anak.
- Kaji area kulit: adanya lecet.
- Lakukan “back rub” setelah mandi di area yang potensial menimbulkan lecet dan pelan-pelan agar tidak menimbulkan nyeri.

KESIMPULAN
Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak. Klasifikasi cedera kepala meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala terbuka yang diakibatkan oleh mekanisme cedera yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi).
Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral, laserasi atau hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma kepala menyebabkan berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada akhirnya menyebabkan terjadinya hiperemia (peningkatan volume darah dan PTIK). Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta cedera otak menyebar yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh.
Komplikasi dari trauma kepala adalah hemorragi, infeksi, odema dan herniasi. Penatalaksanaan pada pasien dengan trauma kepala adalah dilakukan observasi dalam 24 jam, tirah baring, jika pasien muntah harus dipuasakan terlebih dahulu dan kolaborasi untuk pemberian program terapi serta tindakan pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Anak , Edisi I. Jakarta: CV Sagung Seto; 2001.
2. Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik , Volume II. Jakarta: EGC; 1996.
3. Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik . Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000.
4. Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah . Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.

Askep Jiwa Halusinasi


Pengertian Halusinasi
Halusinasi adalah gangguan pencerapan (persepsi) panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh / baik (Stuart & Sundenn, 1998).
Halusinasi adalah persepsi tanpa adanya rangsangan apapun pada panca indera seorang pasien yang terjadi dalam keadaan sadar/terbangun. (Maramis, hal 119).
Halusinasi yaitu gangguan persepsi (proses penyerapan) pada panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar pada pasien dalam keadaan sadar.
Tanda dan gejala :
Bicara, senyum dan tertawa sendiri
Menarik diri dan menghindar dari orang lain
Tidak dapat membedakan antara keadaan nyata dan tidak nyata
Tidak dapat memusatkan perhatian
Curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya), takut
Ekspresi muka tegang, mudah tersinggung. (Budi Anna Keliat, 1999)
Penyebab dari Halusinasi
Salah satu penyebab dari Perubahan sensori perseptual : halusinasi yaitu isolasi social : menarik diri. Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993).
Tanda dan Gejala :
Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
Menghindar dari orang lain (menyendiri).
Komunikasi kurang/ tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain/ perawat.
Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk.
Berdiam diri di kamar/ klien kurang mobilitas.
Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap.
Tidak/ jarang melakukan kegiatan sehari-hari. (Budi Anna Keliat, 1998)
Akibat dari Halusinasi
Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensori: halusinasi dapat beresiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungannya.Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan.
Tanda dan Gejala :
Memperlihatkan permusuhan
Mendekati orang lain dengan ancaman
Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai
Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
Mempunyai rencana untuk melukai.
III. Pohon Masalah
Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
Perubahan sensori perseptual: halusinasi

Isolasi sosial : menarik diri
IV. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji
1. Masalah keperawatan
a. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
b. Perubahan sensori perseptual : halusinasi.
c. Isolasi sosial : menarik diri
2. Data yang perlu dikaji
a. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
Data subjektif :Klien mengatakan marah dan jengkel kepada orang lain, ingin membunuh, ingin membakar atau mengacak-acak lingkungannya.
Data objektif : Klien mengamuk, merusak dan melempar barang-barang, melakukan tindakan kekerasan pada orang-orang disekitarnya.

Perubahan sensori perseptual : halusinasi
1. Data Subjektif
- Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan dengan stimulus nyata.
- Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata.
- Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus.
- Klien merasa makan sesuatu.
- Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya.
- Klien takut pada suara/ bunyi/ gambar yang dilihat dan didengar.
- Klien ingin memukul/ melempar barang-barang.

2. Data objektif
- Klien berbicar dan tertawa sendiri.
- Klien bersikap seperti mendengar/melihat sesuatu.
- Klien berhenti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu.
- Disorientasi.

Isolasi sosial : menarik diri
1. Data Subjektif
- Klien mengungkapkan tidak berdaya dan tidak ingin hidup lagi.
- Klien mengungkapkan enggan berbicara dengan orang lain.
- Klien malu bertemu dan berhadapan dengan orang lain.
2. Data Objektif
- Klien terlihat lebih suka sendiri.
- Bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan.
- Ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup.

V. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perubahan sensori perseptual : halusinasi.
2. Perubahan sensori perseptual : halusinasi berhubungan dengan menarik diri.

VI. Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa 1: Risiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perubahan sensori perseptual : halusinasi.
1. Tujuan umum : klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.
2. Tujuan khusus :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan :
1. Salam terapeutik – perkenalan diri – jelaskan tujuan – ciptakan lingkungan yang tenang – buat kontrak yang jelas (waktu, tempat, topik).
2. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
3. Empati.
4. Ajak membicarakan hal-hal yang ada di lingkungan.

b. Klien dapat mengenal halusinasinya.
Tindakan :
1. Kontak sering dan singkat.
2. Observasi tingkah laku yang terkait dengan halusinasi (verbal dan non verbal).
3. Bantu mengenal halusinasinya dengan menanyakan apakah ada suara yang didengar dan apa yang dikatakan oleh suara itu. Katakan bahwa perawat percaya klien mendengar suara itu, tetapi perawat tidak. Katakan perawat akan membantu.
4. Diskusi tentang situasi yang menimbulkan halusinasi, waktu, frekuensi terjadinya halusinasi serta apa yang dirasakan saat terjadi halusinasi.
5. Dorong untuk mengungkapkan perasaan saat terjadi halusinasi.
c. Klien dapat mengontrol halusinasinya.
Tindakan :
1. Identifikasi bersama tentang cara tindakan jika terjadi halusinasi.
2. Diskusikan manfaat cara yang digunakan klien dan cara baru untuk mengontrol halusinasinya.
3. Bantu memilih dan melatih cara memutus halusinasi : bicara dengan orang lain bila muncul halusinasi, melakukan kegiatan, mengatakan pada suara tersebut “saya tidak mau dengar.”
4. Tanyakan hasil upaya yang telah dipilih/dilakukan.
5. Beri kesempatan melakukan cara yang telah dipilih dan beri pujian jika berhasil.
6. Libatkan klien dalam TAK : stimulasi persepsi.
d. Klien dapat dukungan dari keluarga.
Tindakan :
1. Beri pendidikan kesehatan pada pertemuan keluarga tentang gejala, cara, memutus halusinasi, cara merawat, informasi waktu follow up atau kapan perlu mendapat bantuan.
2. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
e. Klien dapat menggunakan obat dengan benar.
Tindakan :
1. Diskusikan tentang dosis, nama, frekuensi, efek dan efek samping minum obat.
2. Bantu menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama pasien, obat, dosis, cara, waktu).
3. Anjurkan membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.
4. Beri reinforcement positif klien minum obat yang benar.
Diagnosa 2: Perubahan sensori perseptual : halusinasi berhubungan dengan menarik diri.
1. Tujuan Umum: Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal
2. Tujuan Khusus:
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Rasional : Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan interaksi selanjutnya.
Tindakan :
1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapetutik. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal.
Perkenalkan diri dengan sopan
Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien
Jelaskan tujuan pertemuan
Jujur dan menepati janji
Tunjukan sikap empati dan menerima klien apa adanya
Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien.

b. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
Rasional :* Diskusikan tingkat kemampuan klien seperti menilai realitas, kontrol diri atau integritas ego diperlakukan sebagai dasar asuhan keperawatannya. Reinforcement positif akan meningkatkan harga diri klien. Pujian yang realistik tidak menyebabkan klien melakukan kegiatan hanya karena ingin mendapatkan pujian
Tindakan:
Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.
Setiap bertemu klien hindarkan dari memberi penilaian negatif.
Utamakan memberikan pujian yang realistik

c. Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan
Rasional : Keterbukaan dan pengertian tentang kemampuan yang dimiliki adalah prasyarat untuk berubah. Pengertian tentang kemampuan yang dimiliki diri memotivasi untuk tetap mempertahankan penggunaannya.
Tindakan:
Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan selama sakit.
Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya.

d. Klien dapat (menetapkan) merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
Rasional : Membentuk individu yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Klien perlu bertindak secara realistis dalam kehidupannya. Contoh peran yang dilihat klien akan memotivasi klien untuk melaksanakan kegiatan
Tindakan:
Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan
Kegiatan mandiri
Kegiatan dengan bantuan sebagian
Kegiatan yang membutuhkan bantuan total
Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan
e. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya
Rasional :Memberikan kesempatan kepada klien mandiri dapat meningkatkan motivasi dan harga diri klien. Reinforcement positif dapat meningkatkan harga diri klien. Memberikan kesempatan kepada klien ntk tetap melakukan kegiatan yang bisa dilakukan.
Tindakan:
Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan.
Beri pujian atas keberhasilan klien.
Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah

f. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Rasional: Mendorong keluarga untuk mampu merawat klien mandiri di rumah. Support sistem keluarga akan sangat berpengaruh dalam mempercepat proses penyembuhan klien. Meningkatkan peran serta keluarga dalam merawat klien di rumah.
Tindakan:
Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengan harga diri rendah.
Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat.
Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah

DAFTAR PUSTAKA
1. Stuart GW, Sundeen, Buku Saku Keperawatan Jiwa,Jakarta : EGC, 1995
2. Keliat Budi Ana, Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa,Edisi I, Jakarta : EGC, 1999
3. Aziz R, dkk, Pedoman Asuhan Keperawatan Jiwa Semarang : RSJD Dr. Amino Gonohutomo, 2003
4. Tim Direktorat Keswa, Standar Asuhan Keperawatan Jiwa, Edisi 1, Bandung, RSJP Bandung, 2000

Sabtu, 31 Maret 2012


GASTROENTERITIS AKUT (GEA)

BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN
GASTROENTERITIS AKUT (GEA)

A. Definisi
Gastroenteritis atau diare adalah penyakit yang ditandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya (> 3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair), dengan/tanpa darah dan/atau lendir (Prof. Sudaryat, dr.SpAK, 2007).
Gastroenteritis atau diare merupakan suatu keadaan pengeluaran tinja yang tidak normal atau tidak seperti biasanya, dimulai dengan peningkatan volume, keenceran serta frekuensi lebih dari 3 kali sehari dan pada neonatus lebih dari 4 kali sehari dengan atau tanpa lendir dan darah (Hidayat AAA, 2006).
Gastroenteritis atau diare akut adalah diare yang terjadi secara mendadak pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat (Suharyono, 2003)
Gastroenterits atau diare akut adalah inflamasi lambung dan usus yang disebabkan oleh berbagai bakteri, virus, dan patogen (D.L Wong, 2002).
Dapat disimpulkan Gastroenterits atau diare akut adalah inflamasi lambung dan usus yang disebabkan oleh berbagai bakteri, virus, dan pathogen,yang di tandai dengan bertambahnya frekuensi defekasi lebih dari biasanya (> 3 kali/hari) disertai perubahan konsistensi tinja (menjadi cair), Diare juga dapat terjadi pada bayi dan anak yang sebelumnya sehat dan pada neonatus lebih dari 4 kali sehari dengan atau tanpa lendir dan darah.

B. Etiologi
Etiologi gastroenteritis (diare) akut menurut (Ngastiyah, 2005) yaitu :
1. Faktor infeksi
a. Infeksi internal adalah infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama diare pada anak, infeksi internal, meliputi:
(1) Infeksi bakteri
Vibrio, E. Coli, salmonella, shigella, campylobacter, yersinia, aeromonas dan sebagainya.
(2) Infeksi virus
entroviru (virus ECHO), coxsackie, poliomyelitis, adenovirus, rotavirus, astovirus dan lain-lain.
(3) Infeksi parasit
Cacing, protozoa, dan jamur.
2. Faktor malabsorbsi
Malabsorbsi karbohidrat: disakarida, monosakarida pada bayi dan anak, malabsorbsi lemak, malabsorbsi protein.
3. Faktor makanan
Makanan basi beracun dan alergi makanan.
4. Faktor kebersihan
Penggunaan botol susu, air minum tercemar dengan bakteri tinja, tidak mencuci tangan sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja atau sebelum mengkonsumsi makanan.
5. Faktor psikologi
Rasa takut dan cemas dapat menyebabkan diare karena dapat merangsang peningkatan peristaltik usus.

C. Anatomi Fisiologi
Saluran pencernaan terdiri dari 2 bagian yaitu saluran pencernaan atas yang dimulai dari mulut sampai usus halus bagian distal dan organ aksesoris yang terdiri atas hati, kandung empedu dan pancreas (Evelyn P. 1999).
1. Organ Inti
a. Mulut
Mulut merupakan bagian awal dari saluran pencernaan yang terdiri atas dua bagian luar yang sempit (vestibula) yaitu ruang diantara gusi dan gigi dengan bibir dan pipi, serta bagian dalam yang terdiri atas rongga mulut. Pada mulut ini terdapat palatum anterior dan posterior yang terdiri atas membran mukosa (palatum mole).. Di mulut, makanan mengalami proses mekanis yang pertama, disebut proses mengunyah dengan cara menghancurkan makanan sehingga tidak melukai dinding saluran pencernaan dan memungkinkan makanan sampai merata dengan bahan yang terdapat dalam saliva (liur) yang mengandung enzim pencerna pati amilase selama tiga bulan pertama, khususnya enzim amilase akan memecah amilium menjadi maltose.
b. Faring dan Esofagus
Merupakan bagian saluran pencernaan yang terletak di belakang hidung, mulut dan laring. Faring berbentuk kerucut dengan bagian terlebar di bagian atas, yang berjalan hingga vertebra servikal keenam, kemudian faring langsung berhubungan dengan esofagus, sebuah tabung yang memiliki otot dengan panjang kurang lebih 20-25 cm, yang terletak di belakang trachea dan di depan tulang punggung kemudian masuk melalui toraks menembus diafragma yang berhubungan langsung dengan abdomen dan menyambung dengan lambung. Kemudian bagian esofagus berfungsi menghantarkan makanan dari faring menuju lambung. Bentuknya seperti silinder yang berongga dengan panjang kurang lebih 2 cm. kedua ujungnya dilindungi oleh sfingter. Sfingter bagian atas dalam keadaan normal selalu tertutup kecuali bila makanan akan masuk ke dalam lambung atau muntah, keadaan ini dimaksud untuk mencegah gerakan baik ke sisi organ bagian atas yaitu esophagus. Proses penghantaran makanan dilakukan dengan kerja peristaltik, lingkaran serabut otot di depan makanan mengendor dan yang dibelakang makanan berkontraksi.
c. Lambung
Merupakan bagian saluran pencernaan yang terdiri atas bagian atas disebut fundus, bagian utama dan bagian bawah yang horizontal yakni antrum pilorik. Lambung berhubungan langsung dengan esofagus melalui orifisium atau kardia dan dengan duodenum melalui orifisium pilorik, lambung ini terletak di bawah diafragma dan di depan pankreas, limfa menempel pada sebelah kiri fundus.
Lambung memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi motorik, yakni sebagai reservoir yaitu menampung makanan sampai dicerna sedikit demi sedikit, dan sebagai pencampur yakni memecah makanan menjadi partikel-partikel kecil dan campur dengan asam lambung. Kedua, fungsi sekresi dan pencernaan yakni untuk mensekresi pepsin dan HCL yang akan memecah protein menjadi pepton, sedang amilase memecah amilum menjadi maltose, lipase memecah lemak menjadi asam lemak dan gliserol, untuk membentuk sekresi, gastrin, mensekresi faktor intrinsik yang memungkinkan mengabsorpsi vitamin B12 usus halus yaitu di ileum dan mensekresi mucus yang bersifat protektif. Pada lambung makanan berada 2-6 jam kemudian mencampur makanan dengan getah lambung (cairan asam bening tak berwarna) yang mengandung 0,4% HCI yang mengasamkan semua makanan dan bekerja sebagai antiseptik dan desinfektan. Dalam getah lambung terdapat beberapa enzim di antaranya pepsin yang dihasilkan oleh pepsinogen yang berfungsi mengubah makanan menjadi bahan yang lebih mudah larut dan renin yang berfungsi untuk membekukan susu atau membentuk kasein dari kasinogen yang dapat larut.
d. Usus Halus
Usus halus merupakan tabung berlipat-lipat dengan panjang kurang lebih 2,5 meter dalam keadaan hidup. Kemudian akan bertambah panjang menjadi kurang lebih 6 meter pada orang yang telah meninggal akibat relaksasi otot yang telah kehilangan tonusnya, yang letaknya di daerah umbilikus dan dikelilingi oleh usus besar yang memanjang dari lambung sampai katup ileo kolika.
Usus halus terdiri atas tiga bagian yaitu 1) Duodenum dengan panjang kurang lebih 25 cm, 2) Jejunum dengan panjang kurang lebih 2 m, dan 3) Illeum dengan panjang kurang lebih 1 m atau 3/5 akhir dari usus. Lapisan dinding dalam usus halus mengandung berjuta-juta villi kira-kira 4-5 juta yang membentuk mukosa menyerupai beludru.
e. Usus Besar
Usus besar atau juga disebut sebagai kolon merupakan sambungan dari usus halus yang dimulai dari katup ileokolik atau ileosaekal yang merupakan tempat lewatnya makanan. Usus besar ini memiliki panjang kurang lebih 1,5 meter. Kolon terbagi lagi atas asenden, transversum, desenden dan sigmoid, kemudian bagian akhir dari usus besar ini adalah anus (rektum) yang merupakan bagian terakhir kira-kira 10 cm dari usus besar yang dimulai dari kolon sigmoid dan berakhir pada saluran anal.
Tempat di mana kolom asenden membentuk belokan tajam di abdomen atas bagian kanan disebut fleksura hepatika, sedang tempat di mana kolon transvesum membentuk belokan tajam di abdomen bagian kiri disebut fleksura lienalis.
Fungsi utama usus besar adalah mengabsorpsi air (kurang lebih 90%), elektrolit, vitamin, dan sedikit glukosa. Kapasitas absorpsi air kurang lebih 5.000 cc/hari. Flora yang terdapat dalam usus besar berfungsi untuk mensintesis vitamin K dan B serta memungkinkan pembusukan ampas makanan.



2. Organ aksesoris
Organ aksesori terdiri atas:
a. Hati
Merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh yang terletak di bagian teratas dalam rongga abdomen di sebelah kanan di bawah diafragma, memiliki berat kurang lebih 1.500 gram (kira-kira 2,5% orang dewasa).
Hati terdiri atas dua lobus yaitu lobus kanan dan kiri yang dipisahkan oleh ligamen falsiforme. Pada lobus kanan bagian belakang terdapat kantong empedu, secara mikroshopis terdapat sel juffer yang bersifat fagositosis terhadap bakteri dan benda asing lain dalam darah. Kemudian hati memiliki fungsi menghasilkan cairan empedu, fagositosis bakteri, dan benda asing lainnya, pembuatan sel darah merah dan menyimpan glikogen.
b. Kantong Empedu
Merupakan sebuah kantong yang terletak di bawah kanan hati atau lekukan permukaan bawah hati sampai di pinggiran depan yang memiliki panjang 8-12 cm dan memiliki kapasitas 40-60 cm3. Kandung empedu memiliki bagian fundus, leher, dan tiga pembungkus yakni sebelah luar pembungkus peritoneal, sebelah tengah jaringan berotot tak bergaris dan sebelah dalam membran mukosa.
Fungsi dari kandung empedu adalah sebagai tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang berfungsi memberi pH yang sesuai dengan pH optimum enzim-enzim usus halus. Garam-garam empedu mengemulasi lemak, mengekskresi beberapa zat yang tidak digunakan oleh tubuh dan figmen empedu yang memberi warna pada feses yaitu kuning kehijau-hijauan. Cairan empedu mengandung air, garam empedu, lemak, kolesterol, pigmen fosfolipid, dan sedikit protein.
c. Pankreas
Merupakan kelenjar yang strukturnya sama seperti kelenjar ludah, dengan panjang kurang lebih 15 cm yang terdiri atas tiga bagian yaitu bagian kepala pancreas yang paling lebar, badan pankreas yang letaknya di belakang lambung dan di depan vertebra lumbalis pertama dan bagian ekor pankreas yang merupakan bagian runcing di sebelah kiri dan menyentuh limpa.
Pankreas memiliki dua fungsi yakni fungsi eksokrin yang dilaksanakan oleh sel sekretori yang membentuk getah pankreas yang berisi enzim dan elektrolit, kemudian fungsi endokrin yang tersebar di antara alveoli pankreas (Pearce, C Evelyn: 2000).

D. Patofisiologi
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare menurut (Ngastiyah, 2005):
1. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurang kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya timbul diare pula.
2. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekresi, air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya timbul diare karena terdapat isi rongga usus.
3. Gangguan osmotik
Akibat terdapat makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus. Isi usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.









E. Patoflof

 
 
F. Manifestasi Klinik
Klien dengan diare akut sekarang mengalami konsistensi feses cair (diare dan frekuensi defekasi semakin sering, muntah umumnya tidak lama). Demam mungkin ada mungkin tidak, kram abdomen, tenasmus, membran mukosa kering, fontanel cekung bayi) buat berat badan turun malaise (Kep.pediatri:cecily L. Betz dan Linda A. Sowden).
Hemes membedakan, kasus infeksi dengan keracunan makanan. riwayat kasus infeksi keracunan akan bervariasi bergantung pada agen dengan variasi onset, frekuensi dan bentuk tinja, kehadiran darah dan lendir muntah kram dan demam. Kekurangan cairan menyebabkan klien akan merasa haus, ludah kering, tulang pipi menonjol, turgor kulit menurun serta suara menjadi serak.
Asidosis metabolik akan menyebabkan frekuensi pernapasan lebih cepat dan dalam (kusmaul) denyut nadi cepat + 120 x/menit tekanan darah menurun sampai tidak terukur, klien gelisah, muka pucat, extremitas bagian ujung dingin dan kadang sianosis kekurangan kalium dapat menyebabkan aritmia jantung (Eko Cahyadi, 2006; Mansjoer A, dkk, 2001).

G. Pemeriksaan Diagnosis
1. Pemeriksaan tinja
a. Makroskopis dan mikroskopis.
b. Biakah kuman penyebab.
c. Tes resisten terhadap berbagai antibiotik.
2. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah astrup, bila memungkinkan dengan menentukan pH keseimbangan analisa gas darah atau astup bila memungkinkan.
3. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui fungsi ginjal.
4. Pemeriksaan elektrolit intubasi duodenum untuk mengetahui jasad renik atau parasit secara kuantitatif terutama dilakukan pad apenderita diare kronik, ( Suharyono 2003 ).

H. Terapi
Terapi pada diare akut menurut suryadi 2001 yaitu :
1. Pemberian penanganan feses pada penyebab penyakit
2. Pemberian penyakit
3. Diuretic pemberian makanan dan minuman khusus pada penderita dengan penyembuhan dan menjaga kesehatan,
4. Member asi,
5. Memberikan bahan makanan yang mengandung kalori, protein, vitamin, mineral dan makanan yang bersih,
6. Obat-obatan dengan keterangan : pemberian cairan, peroral dan cairan parental.

I. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi menurut Suryadi antara lain yaitu :
a. Dehidrasi
Dehidrasi terjadi karena banyaknya cairan yang keluar tanpa pemasukan yang adekuat.
b. Hipokalemia
Dikarenakan banyaknya kalium yang terbuang bersama tinja.
c. Hipokalsemia
Dikarenakan banyaknya kalsium yang terbuang bersamanya.
d. Aritmia jantung
Dikarenakan hipokalemia dan hipokalsemia.
e. Hiponatremi
Dikarenakan banyaknya natrium yang terbuang bersama tinja.
f. Syok hipovalemik
Dikarenakan cairan dan elektrolit yang terbuang bersama tinja tidak dapat diimbangi dengan pemasukan yang sama.
g. Asidosis
Dikarenakan banyaknya elektrolit yang terbuang maka terjadi perfusi jaringan.

J. Prognosis
Penyebab diare akut mendadak tersering adalah virus, maka tidak ada pengobatan yang dapat menyembuhkan, karena biasanya akan sembuh dengan sendirinya setelah beberapa hari. Diare akut dapat disembuhkan dengan pemberian makanan seperti biasa dan minuman/cairan yang cukup saja. Mencoba untuk menyembuhkan diare dengan obat seperti menyumbat saluran pipa yang akan keluar menyebabkan aliran balik dan akan memperbanyak salauran tersebut.

K. Pencegahan
1. mencuci tangan pakai sabun pada lima waktu penting (sebelum makan, setelah buang air besar, sebelum memegang bayi, setelah menceboki anak dan sebelum menyiapkan makanan).
2. meminum air minum sehat,
3. pengolaan sampah yang baik,
4. Membuang air besar dan kecil pada tempatnya.

BAB II
ASKEP TEORI GEA

A. Data Dasar Pengkajian
Proses keperawatan adalah suatu sistem dalam merencanakan pelayanan asuhan keperawatan yang mempunyai 4 tahap yaitu Pengkajian, perencanaan, pelaksanaan/implementasi dan evaluasi (H. Lismidar; dkk, 2005).
Proses keperawatan merupakan suatu proses pemecahan masalah yang sistematik dalam memberikan pelayanan keperawatan (H. Lismidar; dkk, 2005).
Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien, agar dapat mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik, mental, sosial, dan lingkungan (Nursalam, 2001).
Pengkajian adalah langkah pertama dari proses keperawatan dengan mengumpulkan data- data yang akurat dari klien sehingga akan diketahui berbagai permasalahan yang ada (A. A. A. Hidayat, 2004).
Pengkajian adalah suatu tahapan ketika seorang perawat mengumpulkan informasi secara terus menerus tentang klien yang dibinanya ( Suprajitno, 2004).
Yang termasuk dalam komponen pengkajian adalah sebagai berikut:
1. Pengumpulan data
Yang menjadi kriteria pengumpulan data yaitu :
a. Kelengkapan data.
b. Sistematis.
c. Menggunakan format.
d. Aktual (baru).
e. Absah (valid)
2. Pengelompokan data Yang menjadi kriteria pengelompokan data yaitu :
a. Data biologis
1) Kaji riwayat diare.
2) Kaji status hidrasi : ubun-ubun, turgor kulit, mata, membrane mukosa, mulut.
3) Kaji tinja : jumlah, warna, bau, frekuensi, dan konsistensi.
4) Kaji intake dan output (pemasukan dan pengeluaran).
5) Kaji berat badan.
6) Kaji tingkat aktivitas anak.
7) Kaji TTV.
b. Data psikologis.
c. Datasosial.
d. Data spiritual.
c. Perumusan masalah
Yang menjadi kriteria dalam perumusan masalah yaitu kesenjangan antara status kesehatan yang normal dan fungsi kehidupan.


 B. Diagnosa, Tujuan, Perencanaan/Intervensi serta Rasional

Diagnosa 1. Resiko tinggi kekurangan volume cairan b/d kehilangan yang aktif melalui feses dan muntah

Tujuan : Resiko tinggi kekurangan volume cairan tidak terjadi dengan kriteria hasil :
Pasien mendapat cairan yang cukup untuk mengganti cairan yang hilang

Intervensi :
1. Pantau tanda dan gejala :
-kulit dan membram mukosa kering,
-haus, lemah
2. Pantau masukan pengeluaran dan berat badan,
3. Berikan cairan iv sesuai instruksi,
4. Berikan larutan hidrasi oral sesuai instruksi,
5. Dorong masukan cairan dengan tepat,
6. Awasi TTV pengisian kapiler,
7. Hindari masukan cairan jernih seperti jus, buah, minuman bikarbonat.

Rasional :

1. Keluarnya feses yang cepat melalui usus mengurangi absorbs air, volume sirkulasi uddara yang rendah, menyebabkan kekeringan membram mukosa dan rasa haus serta urin menjadi pekat, ditunjukan oleh berat jenis urin yang meningkat,
2. Untuk mengkaji hidrasi
3. Untuk mencegah dehidrasi
4. Untuk mencegah dehidrasi
5. Untuk mencegah dehidrasi
6. Indikasi keadekuatan volume sirkulasi hipotensi ortostatistik dapat terjadi dengan resiko jatuh,
7. Karena cairan ini tinggi karbohidrat, rendah elektrolit.




Diagnosa 2. Diare b/d kesalahan diet sensitivitas makanan, cacingan dan mikroorganisme.

Tujuan : Diare dapat teratasi dengan criteria hasil :
Anak menunjukan eliminasi usus yang normal.

Intervensi :
1. Hindari makanan yang diketahui akan mengiritasi/menyebabkan respon alergi,
2. Berikan anti mikroba sesuai intruksi,
3. Anjurkan pasien dalam penggunaan obat-obatan yang tepat,
4. Anjurkan pasien untuk  membuang menghindari makanan yang pedas,
5. Berikan dorongan untuk makan,
kolaborasi
6. Rujuk pasien untuk berkonsultasi dengan dokter bila diare menetap dan diikuti dengan penurunan BB.
Untuk menurunkan kehilangan integritas kulit,

Rasional
1. Untuk mengatasi infeksi,
2. Obat-obat tersebut dapat menunda eradiksi alamiahdan infeksi,
3. Makanan yang pedas dapt mengirit lambung,
4. Diare yang menetap menunjukan tanda-tanda diare kronik.


Diagnosa 3.Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d malabsorbsi makanan.

Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi sehingga kekurangan nutrisi dapat terpenuhi dengan criteria hasil :
BB, adanya asupan yang cukup, TTV dalam batas normal

Intervensi :
1. Berikan makanan sedikit tapi sering setiap 2-3 jam,
2. Timbang berat badan tiap hari,
3. Instruksikan teknik-teknik pemberian makanan yang sehat,
4. Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi,
5. Hindari pemberian diet dengan pisang, roti panggang/the.

Rasional :
1. Dilatasi gaster dapat terjadi bila pemberian makanan terlalu cepat setelah periode puasa,
2. Untuk mengetahui apakah ada penurunan atau kenaikan BB,
3. Untuk meningkatkan kepatuhan terhadap program terapiutik,
4. Kebutuhan nutrisi dapt terpenuhi
5. Memperbaiki kepatuhan terhadap program terapeutik.

Diagnosa 4 : Kecemasan b/d koping 

Tujuan Mengurangi kecemasan dengan criteria hasil :
Kecemasan berkurang

Intervensi :
1. Anjurkan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaan cemas, bersikap empati,
2. Gunakan komunikasi terapeutik,
3. Menjelaskan proses dan penyembuhan penyakit,
4. Bantu keluraga untuk menggunakan mekanisme koping dengan banyak berdoa,
5. Libatkan orang tua dalam perawatanm anak.

Rasional :
1. Dapat mengurangi perasaan cemas,
2. Dapat membina hubungan saling percaya,
3. Menginformasikan yang jelas tentang prosedur perawat,
4. Membantu keluarga menerima proses penyakit kliean sebagai suatu kondisi yang harus diterima,
5. Untuk memenuhi kehidupan/ kebutuhan anak/orang tua


Diagnosa 5 : Kurang pengetahuan b/d tanda dan gejala

Tujuan : Orang tua mengerti tentang diare

Intervensi :
1. Jelaskan tentang diare, tanda dan gejala,
2. Jelaskan tentang diet makanan tinggi serat, tinggi lemak, air panas, air dingin harus di hindari. Pemahaman tentang diare,

Rasional :
1. Pemahaman tentang diare,
2. Makanan ini dapat mengiritasi lambung/usus.

Selasa, 27 Maret 2012

Askep keluarga Pada Balita


PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Keluarga membentuk unit dasar dari masyarakat. Maka lembaga sosial yang paling banyak memiliki efek-efek yang paling menonjol tehadap anggotanya yaitu keluarga. Unit dasar ini memiliki  pengaruh yang begitu kuat terhadap perkembangan seorang individu yang dapat menentukan berhasil-tidaknya kehidupan individu tersebut. Setiap anggota keluarga memiliki kebutuhan dasar fisik, pribadi dan sosial.
Keluarga harus berfungsi menjadi perantara bagi tuntutan-tuntutan dan harapan-harapan dari semua individu yang ada dalam unit tersebut. Sebuah keluarga diharapkan dapat bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan dari orang tua dan anak-anak. Ini menjadi satu tugas yang sulit karena harus memprioritaskan kebutuhan individu yang beraneka ragam pada saat tertentu. Di lain pihak, masyarakat mengharapkan setiap anggotanya memenuhi kewajiban-kewajibannya dan tuntutannya. Sebab itu keluarga harus menjadi perantara bagi kebutuhan dan tuntutan dari anggota keluarganya dengan kebutuhan dan tuntutan dari masyarakat.
 Dalam suatu keluarga tentunya terdapat orang dewasa dan anak-anak. Di dunia yang semakin modern ini, yang kita kenal dengan era post modern. Ada begitu banyak tantangan yang harus dihadapi oleh setiap individu dan keluarga, apalagi bicara soal kesehatan. Kesehatan sangat penting bagi kelangsungan hidup keluarga, termasuk kesehatan anak-anak, terutama anak-anak yang berusia 5 tahun ke bawah. Di usia ini anak-anak rentan dengan sakit penyakit, karena itu orang tua perlu ekstra waspada dengan situasi dan kondisi anak-anaknya.
Untuk itu pada kesempatan ini, akan dibahas mengenai asuhan keperawatan keluarga dengan BALITA. Didalamnya juga dapat melibatkan perawat untuk melaksanakan proses keperawatan, guna membantu dan membimbing keluarga menjadi keluarga yang mandiri dalam mengatasi masalah-masalah kesehatan berkaitan dengan anak yang berusia di bawah lima tahun (BALITA).
B.     Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami lebih dalam lagi mengenai askep keluarga pada balita
2. Tujuan Khusus
a. Untuk memberikan informasi kepada mahasiswa mengenai teori/konsep dasar mengenai keperawatan keluarga dengan Balita.
b. Untuk memaparkan kepada mahasiswa, tahap-tahap perkembangan keluarga dengan Balita.
c. Untuk menjelaskan kepada mahasiswa bagaimana proses keperawatan berperan dalam kehidupan keluarga dengan Balita.
d. Untuk memaparkan kepada mahasiswa, masalah-masalah kesehatan apa saja yang sering muncul pada anak-anak di usia Toddler dan Pra Sekolah (Balita).
e. Untuk menjelaskan kepada mahasiswa tentang bagaimana memberikan bimbingan pada anak-anak di usia Toddler dan Pra Sekolah (Balita).


C.     Manfaat Penulisan
1. Mahasiswa dapat mengetahui informasi mengenai teori/konsep keperawatan keluarga dengan Balita.
2. Mahasiswa dapat mengetahui apa saja yang menjadi tahap-tahap perkembangan keluarga dengan Balita.
3. Mahasiswa dapat mengerti melaksanakan proses keperawatan pada keluarga dengan Balita.
4. Mahasiswa dapat mengetahui masalah-masalah kesehatan yang sering muncul pada anak-anak di usia Toddler dan Pra Sekolah (Balita).
5. Mahasiswa dapat memahami bagaimana cara memberikan bimbingan kepada anak-anak di usia Toddler dan Pra Sekolah (Balita).


BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Balita atau anak bawah umur lima tahun adalah anak usia kurang dari lima tahun sehingga bagi usia di bawah satu tahun juga termasuk dalam golongan ini. Namun faal (kerja alat tubuh semestinya) bagi usia di bawah satu tahun berbeda dengan anak usia di atas satu tahun, maka anak di bawah satu tahun tidak termasuk ke dalam golongan yang dikatakan balita. Anak usia 1-5 tahun dapat pula dikatakan mulai disapih atau selepas menyusu sampai dengan pra-sekolah. Sesuai dengan pertumbuhan badan dan perkembangan kecerdasannya, faal tubuhnya juga mengalami perkembangan sehingga jenis makanan dan cara pemberiannya pun harus disesuaikan dengan keadaannya. Berdasarkan karakteristiknya balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak yang berumur 1-3 tahun yang dikenal dengan Batita merupakan konsumen pasif. Sedangkan usia prasekolah lebih dikenal sebagai konsumen aktif (Uripi, 2004).
1. Karakteristik Batita
Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering.
2. Karakteristik Usia Pra-sekolah
Pada usia pra-sekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga anak mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak akan mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan “tidak” terhadap setiap ajakan.
Karakteristik anak pra-sekolah ini mencakup perkembangan fisik dan kemampuan motorik serta emosional anak. Perkembangan fisik yaitu hasil tumbuh kembang fisik adalah bertumbuh besarnya ukuran-ukuran antropometrik dan gejala/tanda lain pada rambut, gigi-geligi, otot, serta jaringan lemak, darah, dan lainnya. Sedangkan kemampuan motorik dan emosional anak mencakup sikap anak dalam lingkungan, gerakan anggota badan, serta kemampuan intelektual anak seperti menyebutkan nama atau bercerita lainnya.

B. Penyediaan Menu Seimbang untuk Balita
1. Pengertian Makanan bagi Balita
Pada dasarnya makanan bagi balita harus bersifat lengkap artinya kualitas dari makanan harus baik dan kuantitas makanan pun harus cukup, dan bergizi. Artinya makanan mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan, dengan memperhitungkan:
a. Pada periode ini dibutuhkan penambahan konsumsi zat pembangun karena tubuh anak sedang berkembang pesat.
b. Bertambahnya aktivitas membutuhkan penambahan bahan makanan sebagai sumber energi.
c. Untuk perkembangan mentalnya anak membutuhkan lebih banyak lagi zat pembangun terutama untuk pertumbuhan jaringan otak yang mempengaruhi kecerdasan walaupun tak secara signifikan.
2. Pola Makan Sehat dan Seimbang
Menurut Harper (1986), pola makan (dietary pattern) adalah cara seseorang atau sekelompok orang dalam memilih pangan dan makanannya serta mengkonsumsinya sebagai tanggapan terhadap pengaruh fisiologi, psikologi, budaya dan sosial. Pola makan dinamakan pula kebiasaan makan, kebiasaan pangan atau pola pangan (Suhardjo, 2003).
Menu seimbang adalah menu yang terdiri dari beraneka ragam makanan dalam jumlah dan proporsi yang sesuai, sehingga memenuhi kebutuhan gizi seseorang guna pemeliharaan dan perbaikan sel-sel tubuh dan proses kehidupan serta pertumbuhan dan perkembangan (Almatsier, 2004). Pola menu seimbang adalah pengaturan makanan yang sehat dengan susunan hidangan menu sesuai dengan kebutuhan gizi esensial dalam jumlah yang ideal serta disesuaikan dengan daya toleran si anak. Dengan kata lain menu seimbang adalah menu yang kebutuhan gizinya sudah disesuaikan dengan golongan usia balita.
Ciri khas pola menu di Indonesia ialah Empat Sehat Lima Sempurna yaitu menu lengkap terdiri dari nasi atau makanan pokok, lauk, sayur, buah dan agar menjadi sempurna ditambahkan dengan susu (Santoso, 2004).
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Makan
Dalam hal pola makan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
a. Pengetahuan Gizi Ibu
Bila pengetahuan tentang bahan makanan yang bergizi masih kurang maka pemberian makanan untuk keluarga biasa dipilih bahan-bahan makanan yang hanya dapat mengenyangkan perut saja tanpa memikirkan apakah makanan itu bergizi atau tidak, sehingga kebutuhan energi dan gizi masyarakat dan anggota keluarga tidak tercukupi (Sapoetra, 1997).
Menurut Suhardjo (1989), bila ibu rumah tangga memiliki pengetahuan gizi yang baik ia akan mampu untuk memilih makanan-makanan yang bergizi untuk dikonsumsi.
b. Pendidikan Ibu
Peranan ibu sangat penting dalam penyediaan makanan bagi anak balitanya, pengetahuan yang diperoleh baik formal maupun non formal sangat menentukan untuk ditetapkan dalam hal pemilihan dan penentuan jenis makanan yang dikonsumsi oleh balita dan anggota keluarga lainnya.
Pendidikan gizi ibu bertujuan untuk meningkatkan penggunaan sumber daya makanan yang tersedia. Dari hal tersebut dapat disumsikan bahwa tingkat kecukupan energi dan zat gizi pada balita relatif tinggi bila pendidikan ibu tinggi (Depkes RI, 2010).
c. Pendapatan Keluarga
Pendapatan merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Tetapi perlu disadari bahwa pendapatan tidak selalu membawa perbaikan pada susunan makanan. Tingkat pendapatan juga ikut menentukan jenis pangan yang akan dibeli dengan tambahan uang tersebut. Orang miskin membelanjakan sebagian besar pendapatan tambahan tersebut untuk makanan, sedangkan orang kaya jauh lebih rendah. Semakin tinggi pendapatan semakin besar pula persentase dari pendapatan tersebut dipergunakan untuk membeli buah, sayur mayur, dan berbagai jenis bahan pangan lain (Berg, A &Sajogyo, 1986).
4. Porsi Makanan
Menurut Lia Amalia yang dikutip oleh Komsatiningrum (2009), porsi makan bagi orang dewasa dan balita sangatlah jauh berbeda, porsi makan anak balita lebih sedikit karena kebutuhan gizi esensial jumlahnya lebih sedikit yang harus dipenuhi.
Selain itu karakteristik pertumbuhan dan aktivitasnya juga berbeda. Porsi makan bagi anak balita harus mempunyai kandungan air dan serat yang sesuai dengan daya toleransi, tekstur makanannya agak lunak agar mudah dicerna, memberikan rasa kenyang. Makanan selingan perlu diberikan kepada balita terutama jika porsi makan utama yang dikonsumsi belum mencukupi. Pemberian makanan selingan tidak boleh berlebihan karena akan mengakibatkan berkurangnya nafsu makan akibat terlalu kenyang makan makanan selingan. Pemilihan makanan selingan disesuaikan dengan fungsinya yaitu:
1. Mencukupi asupan nutrisi yang mungkin kurang pada saat pemberian makan pagi, siang, sore.
2. Memperkenalkan aneka ragam jenis makanan yang terdapat dalam makanan selingan.
3. Mengatasi masalah anak yang sulit makan nasi.
4. Untuk mencukupi kebutuhan kalori terutama pada anak yang banyak melakukan aktivitas.

5. Bahan Makanan
Bahan makanan bagi anak balita harus dipilih yang tidak merangsang, rendah serat, dan tidak mengandung gas. Penggunaan rempah yang merangsang seperti cabai, asam sebaiknya dihindari, penambahan vetsin sebaiknya dihindari dan sebaiknya menggunakan garam dan gula yang tidak membahayakan tubuh. Menu Empat Sehat Lima Sempurna sangat baik diberikan kepada balita, di dalam menu ini digunakan berbagai jenis bahan makanan yang terdiri atas:
a. Bahan makanan pokok
Bahan makanan pokok memegang peranan penting, biasa dihidangkan pada waktu makan pagi, siang, dan malam. Pada umumnya bahan makanan pokok jumlahnya (kuantitas/volume) lebih banyak dibanding bahan makanan lainnya. Bahan makanan pokok merupakan sumber energi dan mengandung banyak karbohidrat. Jenis bahan makanan pokok yang biasa dikonsumsi adalah beras, jagung, gandum, sagu, umbi-umbian.
b. Bahan makanan lauk pauk
Bahan makanan lauk pauk biasa digunakan sebagai teman makanan pokok yang memberikan rasa enak dan merupakan sumber protein. Sebagai sumbernya dikenal bahan makanan berasal dari hewan yang disebut protein hewani seperti daging, ikan, telur, lauk yang berasal dari tumbuhan disebut protein nabati yaitu kacangkacangan serta hasil olahnya seperti tahu dan tempe.
c. Bahan makanan sayur mayur
Dalam hidangan orang Indonesia sayur mayur sebagai teman makanan pokok, pemberi serat dalam hidangan. Bahan makanan sayuran biasa berasal dari berbagai jenis tumbuhan seperti batang, daun, bunga, umbi, buah muda. Bagi balita sebaiknya diberikan sayuran yang kadar seratnya tidak terlalu tinggi. Sayur-mayur merupakan sumber vitamin dan mineral. Namun jika mengalami pemanasan maka zat gizi yang terdapat di dalamnya dapat rusak atau berkurang.

d. Bahan makanan buah-buahan
Buah biasanya di hidangkan dan disantap terakhir kali dalam suatu acara makan, umumnya buah yang dipilih buah yang matang dan berasa manis. Buah-buahan merupakan sumber vitamin bagi tubuh dan zat pengatur.
e. Susu
Susu adalah cairan berwarna putih yang dikeluarkan oleh kelenjar susu. Susu merupakan makanan alami yang hampir sempurna. Istilah untuk air susu manusia adalah air susu ibu (ASI) dan susu yang bukan berasal dari manusia disebut pengganti air susu ibu (PASI) yang biasa berasal dari hewan ternak seperti sapi, kambing, kuda. Susu merupakan minuman yang baik bagi balita, selain itu air putih juga baik diberikan. Susu dapat diperoleh dalam berbagai bentuk yaitu bubuk dan cair (Soegeng Santoso, 2004).
6. Pengaturan Makanan Untuk Balita
Dalam merencanakan pengetahuan makanan makan untuk balita, jika kita hendak menentukan makanan yang tepat untuk seorang bayi atau anak, maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Menentukan jumlah kebutuhan zat gizi dengan menggunakan data tentang kebutuhan zat gizi.
b. Menentukan jenis bahan makanan yang dipilih untuk menterjemahkan zat gizi yang diperlukan dengan menggunakan daftar komposisi zat gizi dari berbagai macam bahan makanan.
c. Menentukan jadwal waktu makan dan menentukan hidangan. Perlu pula ditentukan cara pemberian makan.
d. Memperhatikan masukan yang terjadi terhadap hidangan tersebut.
Perlu dipertimbangkan kemungkinan faktor kesukaan dan ketidaksukaan terhadap suatu makanan. Perhatikan pula bila ia betul-betul terjadi keadaan anoreksia. Bila tidak terdapat sisa makanan, mungkin makanan yang diberikan jumlahnya kurang.

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk pengaturan makan yang tepat adalah umur, berat badan, keadaan mulut sebagai alat penerima makanan, kebiasaan makan, kesukaan dan ketidaksukaan, akseptabilitas dari makanan dan toleransi anak terhadap makanan yang diberikan.
Dengan memperhatikan dan memperhitungkan faktor-faktor tersebut di atas, umumnya tidak akan banyak terjadi kekeliruan dalam mengatur makan untuk seorang anak balita. Pada umumnya kepada anak balita telah dapat diberikan jadwal waktu makan yang serupa, yaitu 3 kali makan dan diantaranya dapat diberikan makanan kecil (snack).


BAB III

TINJAUAN TEORI

A.    Landasan Teori
Pada usia Toddler dan prasekolah anak mengalami lompatan kemajuan yang menakjubkan. Tidak hanya kemajuan fisik tetapi juga secara sosial dan emosional. Anak usia toddler dan prasekolah ini sedang dalam proses awal pencarian jati dirinya. Beberapa prilaku yang dulunya tidak ada, sekarang muncul. Secara fisik dan psikis usia ini adalah usia yang rentan berbagai penyakit yang akan mudah menyerang anak usia ini dan menimbulkan masalah yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang, jika kondisi kesehatan anak tidak ditangani secara baik, oleh para praktisi kesehatan yang juga usaha-usaha pencegahan adalah usaha yang tetap paling baik dilakukan.
Berkaitan dengan uraian diatas maka dalam makalah ini penulis menguraikan beberapa masalah kesehatan yang banyak dijumpai pada anak usia ini serta usaha pencegahan dan penanganannya terutama yang berkaitan dengan tindakan keperawatan dan menyangkut satu masalah yang paling menonjol sehingga muncul satu diagnosa keperawatan.
1. Konsep Dasar
Periode Eraly Childhood yaitu sejak umur 1 tahun sampai dengan 6 tahun dibagi atas :
a. Toddler : umur 1 /sd 3 tahun
b. Preschool : umur 3 s/d 6 tahun
2. Perkembangan Fungsi Mental dan personality
a. Fase oral (0-1 tahun)
Positif :
Memberikan kepuasan/kesenangan
Menghisap, menelan, memainkan bibir
Makan kenyang, tidur

Negatif :
Mengigit, mengeluarkan air liur
Marah, menangis.
b. Fase anal (1-3 tahun)
Dengan tubuh memberi kepuasan berkisar sekitar anus
Positif :
BAB/BAK dan senang melakukannya sendiri
Negatif :
Anak akan menahan dan mempermainkannya
c. Fase phalic (3-6 tahun)
Memegang genetalia dan Oedipus complex
Positif :
Egosentris : sosial interaksi
Mempertahankan keinginanya.
3. Perkembangan Psikosial (Ericson)
a. Percaya vs tidak percaya (0-1 tahun)
Semua kebutuhan mutlak tergantung pada orang lain
Rasa aman dan percaya mutlak pada lingkungan
b. Otonomi vs rasa malu-malu/ragu-ragu (1-3 tahun)
Alat gerak dan rasa, telah matang
Perkembangan otonomi berfokus pada peningkatan kemampuan mengontrol tubuhnya, diri dan lingkungan.
Menyadari bahwa ia dapat menggunakan kekuatannya untuk bergerak  dan membuat sesuatu sesuai dengan keinginannya.
c. Inisiatif vs rasa bersalah (3-6 tahun)
Anak belajar mengendalikan diri dan memanipulasi lingkungan
Rasa inisiatif mulai menguasai anak
Anak mulai menuntut untuk melakukan tugas
Kemampuan anak berbahasa meningkat
Rasa kecewa dan bersalah.

4. Perkembangan Kongnitif (Piaget)
a. Sensori motorik (lahir – 2 tahun)
Menggunakan sistem pengindera, motorik dan benda-benda untuk mengenal lingkungan.
b. Pre operasional (2-7 tahun)
Anak mampu menggunakan simbol kata-kata, mengingat masa lalu, sekarang dan yang akan datang.
5. Pertumbuhan dan Perkembangan Usia Toddler
a. Masa mengeksplorasi lingkungan
b. Tugas tahap ini sukses membutuhkan trust pada saat bayi dan bimbingan orang tua.
6. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Pra Sekolah (3-5 Tahun)
a. Rasa keingintahuan tentang hal-hal yang berada dilingkungan semakin besar dan dapat mengembangkan pola sosialisasinya.
b. Anak sudah mulai mandiri dalam merawat diri sendiri : mandi, makan, minum, mengosok gigi, BAB dan BAK, dll.

B. Tahap perkembangan keluarga dengan BALITA
1. Tahap Keluarga dengan Childbearing/melahirkan:
a. Dimulai dengan kelahiran s/d umur 30 bln
b. Orang tua menjalankan peran baru
c. Peran ini awalnya sulit karena :
Perasaan ketidak adekuatan menjadi orang tua baru
Kurangnya bantuan dari keluarga
Nasehat yang menimbulkan konflik
Tidur kurang karena anak rewel
Faktor yang menyulitkan (Bradt 1988) :
Banyaknya wanita yang bekerja
Naiknya angka perceraian dan masalah perkawinan
Penggunaan alat kontrasepsi dan aborsi yang sudah lazim
Meningkatnya biaya perawatan anak
Masalah yang sering terjadi :
Kesulitan dalam perawatan anak
Suami merasa diabaikan
Terdapat peningkatan perselisihan
Interupsi dalam jadwal yang terus menerus
Kehidupan sosial dan seksual terganggu
Tugas perkembangan keluarga dengan tahap Childbearing/ melahirkan :
Membentuk keluarga muda yang bahagia
Penyesuaian tugas baru
Mempertahankan hubungan perkawinan yang memuaskan
Memperluas persahabatan dengan keluarga besar/teman
Mendidik anak berdasar agama

Masalah kesehatan pada keluarga dengan Childbearing :
Perawatan bayi yang baik
Imunisasi
KB
Penyakit infeksi
Masalah transisi pada orangtua
Sibling rivalry
Tempertantrum
Negativisme
Tumbuh kembang
2. Tahap Keluarga dengan Anak Pra Sekolah
a. Anak I berumur 2,5 th s/d 5 th
b. Keluarga menjadi majemuk
c. Kesibukan orangtua meningkat
d. Kelompok bermain sangat membantu dalam perkembangan anak
Tumbuh Kembang Balita
Toddler (1-3)
Biologis ( ↑ BB, TB)
Motorik (berjalan, lari,memegang benda)
Psikososial : otonomi vs ragu – ragu negativism dari otonomi → tempertantrum, Sibling
Kognitif : prekonseptual, egosentris
Psikoseksual : fase anal; toilet training
Sosial : bermain, ↑ sosialisasi
Pra sekolah (3 – 5 tahun)
Biologis : pertumbuhan fisik lambat
Motorik : menulis, memakai/melepas baju
Psikososial : Inisiatif vs rasa bersalah bereksperimen, sosialisasi > luas, meniru
Kognitif : prekonseptual, intuitive
Psikoseksual : oedipal, elektra kompleks
Sosial : berdiskusi dengan orangtua
Tugas perkembangan keluarga tahap  Keluarga dengan Anak Pra Sekolah :
Memenuhi kebutuhan anggota keluarga
Membantu anak untuk sosialisasi
Beradaptasi dengan anak ke 2
Pembagian waktu untuk individu, pasangan, keluarga
Pembagian tanggungjawab anggota keluarga
Merencanakan kegiatan untuk stimulasi tumbang anak
Masalah kesehatan pada keluarga dengan anak pra sekolah :
Masalah kesehatan fisik pada anak ; sakit, jatuh
Kes psikososial : hubungan perkawinan
Persaingan kakak – adik
Masalah komunikasi keluarga
Masalah pengasuhan anak,

C. Proses Keperawatan Keluarga Dengan Balita
1.  Pengkajian
a.  Pengkajian pada keluarga :
Identitas : nama KK, alamat, pekerjaan
Riwayat dan tahap perkembangan
Lingkungan : rumah, lingkungan, sistem sosial
Struktur keluarga : komunikasi, peran anggota
Fungsi Keluarga
Penyebab masalah keluarga dan koping
Bagaimana pelaksanaan tugas dan fungsi keluarga

b.   Pengkajian pada balita :
Identitas anak
Riwayat kehamilan, persalinan
Riwayat kesehatan bayi
Pertumbuhan dan perkembangan
Pemeriksaan fisik
Berapa lama waktu bersama orangtua
Siapa pengasuh anak
2.    Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan hubungan berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga merawat anak yang sakit berat.
b. Hubungan keluarga tidak harmonis berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga mengenal masalah yang terjadi pada anak.
c. Meningkatnya kemandirian anak.
d. Pemeliharaan kesehatan yang optimal.
e. Hubungan keluarga yang harmonis.
3.    Intervensi
a. Diskusikan tentang tugas keluarga
b. Diskusikan penyebab ketidakharmonisan
c. Identifikasi sumber dukungan yang ada
d. Ajarkan cara merawat anak
e. Anjurkan untuk mempertahankan pola komunikasi terbuka
f. Bantu keluarga mengenali kebutuhan anggota keluarga



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan makalah di atas, maka kami dapat menarik kesimpulan bahwa Keluarga merupakan unit dasar dalam masyarakat. Setiap keluarganya tentunya pernah mengalami atau memiliki anak dengan usia BALITA. Masa Balita ini terbagi atas dua masa yaitu Toddler dan Pra Sekolah. Sehingga masing-masing memiliki fase bimbingan yang berbeda. Pada masa ini anak mengalami peningkatan dan kemajuan yang menakjubkan. Keluarga dengan Balita memiliki dua tahap perkembangan yaitu tahap keluarga dengan Childbearing dan tahap keluarga dengan anak pra sekolah. Dalam perkembangan keluarga ini ada beberapa tugas dan masalah yang harus dihadapi oleh keluarga termasuk anak yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, keluarga perlu diperlengkapi dengan proses keperawatan/asuhan keperawatan  keluarga dengan Balita.

B. Saran
  Keluarga dengan Balita, seperti yang sudah dibicarakan di atas, banyak diperhadapkan dengan masalah. Oleh karena itu, sebaiknya keluarga harus memperhatikan dengan benar setiap asuhan perawatan yang diberikan baik terhadap keluarga maupun pada anak. Dengan begitu keluarga dapat melaksanakan pola asuhan keluarga dengan Balita secara mandiri. Untuk itu tidak lepas pula bimbingan dari tenaga kesehatan, terutama perawat.


DAFTAR PUSTAKA

Friedman M. 1998. Keperawatan Keluarga, Teori dan Praktik. Jakarta : EGC.

http://ners.unair.ac.id/materikuliah/ASKEP%20KELUARGA%20DENGAN%20  BALITA.pdf

http://umitrastikes.blogspot.com/2010/04/asuhan-keperawatan-keluarga-dengan-anak.html

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3587/1/keperawatan-siti%20zahara.pdf

http://yayannerz.blogspot.com/2011/03/askep-keluarga-dengan-balita.html